Saat air ketuban kering dan bayi terancam mati, datang sosok misterius memberi air putih untuk persalinan istriku. Laki-laki tua yang tiba-tiba datang itu, diyakini bukan manusia biasa, tapi jin utusan Tuhan yang diturunkan untuk membantu kami yang sedang panik dan menderita batin.
Saat istriku menjerit kesakitan karena air ketuban kering karena kelebihan dua minggu dari harinya, aku begitu cemas. Sementara bidan Sri Dwijaningsih sudah lepas tangan, tidak sanggup lagi menangani istriku yang sudah 20 hari di kliniknya. Kami dianjurkan rujukan ke rumah sakit besar l00 kilometer dari kampung kami untuk operasi sesar. Dalam teori medis, bila air ketuban kering, bayi akan meninggal. Sebab air ketuban itu dimakan oleh jabang bayi dan menjadi racun pembunuh utama. Bayanganku jauh soal biaya. Paling tidak, untuk melakukan operasi sesar, Rp 5 juta mesti keluar. Sedangkan di kantongku, hanya tersisa uang Rp 200 ribu pemberian Om Zul, adik bungsu ibuku yang tinggal di Jakarta lewat transfer BNI 46 cabang Tugumulya, Lampung Barat.
Di tengah kegelisahanku, tiba-tiba datang seorang laki-laki setengah baya memberikan segelas air putih untuk diminumkan kepada istriku. Entah darimana datangnya sosok pria berpeci hitam, berbaju koko putih dan memakai sarung batik coklat. Disodorkan air dengan niat baik itu, aku langsung meraih dan meminumkannya poada istriku. Arkian, lima menit setelah minum air putih itu, bayi kami langsung lahir dengan selamat. Tapi laki-laki yang membawa air putih itu tiba-tiba menghilang di balik jendela. Saya mengejar keluar untuk mengucapkan terima kasih. Tapi laki-laki itu ternyata raib, tidak meninggalkan bekas sama sekali. Ditanya pada orang-orang sekitar, tidak ada satupun orang yang tahu. Tidak seorangpun yang mengaku melihat ada laki-laki bersarung batik, berbaju koko dan berpeci hitam masuk ke klinik itu. Bu bidan pun, tidak mengetahui ada sosok yang dimaksud berada dalam kliniknya.
Sejak setahun yang lalu, tepatnya bulan Juli 2003, aku menganggur. Aku dipecat sebagai Duty Manager sebuah hotel melati tiga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Pemecatan tanpa alasan dan dicari-cari oleh management untuk menghindari pengangkatan satusku dari kontrak setelah 7 tahun aku kerja itu, benar-benar memukul batin kami. Selain merasa tidak bersalah, aku pun harus menghadapi suatu permasalahan ekonomi karena melamar ke sana ke mari, tidak mudah diterima. Sementara rumah kontrakan kami di Desa Suradita, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tanggerang, Banten, tinggal sedikit lagi masa kontraknya akan habis.
Kehidupan kami mulai mengalami cobaan dari Allah SWT, dan baru pertama kali itulah aku merasakan pukulan hidup yang begitu berat dan menekan. Tapi aku harus tabah dan menghadapi ujian itu dengan ihlas. Tapi istri dan anakku, tentu saja tidak bisa menunda makan, minum dan kebutuhan rumah tangga yang lain. Maka itu, barang-barang di rumah satu perastu dilepas untuk hidup. Mulanya VCD, lalu kulkas, radio dan handphone. Tinggal televisi yang tersisa, karena televisi itu buat hiburan di malam hari. Bila tidak ada televisi, tentu rumah akan menjadi neraka dunia, sunyi dan aku akan jadi buta informasi.
Sedangkan Verli putra kami yang berumur 3 tahun, tidak pernah mau makan nasi. Dia hanya mau minum susu indomilk kaleng dan satu kaleng hanya untuk satu hari. Sementara persedian uang belakangan sudah tidak ada lagi untuk membeli susu. Barang-barang pun tidak ada lagi yang bisa dijual untuk susu anak kami itu. Untungnya, kakak kandungku, Bang Is, yang tinggal tidak jauh dari rumah kami, turun membantu. Karena uluran tangannyalah, maka kami bisa membelikan susu untuk Verli setiap hari.
Berapa bulan kemudian Sukirtina istriku terlambat datang bulan. Setelah diperiksa di dokter kandungan di Medical Center Bahkati Asih, istriku ternyata positif hamil. Bila kebanyakansuami senang mendengar istri positif hamil, aku malah sebaliknya. Bayanganku jauh ke depan meyangkut biaya kehamilan dan biaya melahirkan, sementara aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang semua kebutuhan itu. Maka itu, kami pun akhirnya sepakat untuk menggugurkan kandungan itu. Tapi tiba-tiba kami membayangkan dosa dan kami sangat takut bila Tuhan marah atas usaha pengguguran itu. Bayi itu, menurut hemat kami, adalah titipan Allah dan Allah pasti sudah mengatur rejekih untuknya. Pengguguran itu, pikir kami, adalah suatu pembunuhan, sebab kehamilan istriku ternyata sudah empat bulan dan jabang bayi di perus istriku sudah berbentuk utuh walau masih kecil.
Sejak dari itu, kandungan istriku tidak terurus lagi. Makan, minum susu serta vitamin pun tidak pernah dapat terpenuhi. Tak ada uang kami untuk membeli kebutuhan itu. Airmata istriku sering menggenang dan aku tahu dia sangat sedih melihat kenyataan itu. Kadang-kadang dia sewot pula bicara, menyuruh aku banting tulang bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Aku mengerti desakan itu, dan sudah seharusnyalah aku bekerja keras bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Tapi aku bingung, mau kerja apa aku. Om ku mengajak aku jadi sopir perusahaannya, tapi aku tidak bisa menyetir. Om yang lain lagi mengajak bekerja sebagai kru sinetron, tapi aku tidak punya pengalaman di bidang produksi sinetron. Paling-paling, kata Omku. aku bekerja sebagai Pembantu Umum, tukang masak air dan menyediakan keperluan pemain dari dapur. Dan Omku tidak tega melihat aku bekerja di bidang itu, pekerjaan terendah di produksi sinetron kita. Makan sehari-hari pun dengan seadanya dan juga di bantu dari paman kami.
Karena merasa tidak enak dengan paman kami dan keluarga yang di Jakarta, akhirnya kami putuskan untuk berpisah sementara. Anak dan istriku dipulangkan dulu di kampung ke tempat orang tua kami di Lampung. Sedangkan aku berada di Jakarta untuk mencari kerja lagi, dari hotel ke hotel dan dari restoran ke restoran sesuai dengan bidang keahlianku sebagai Bar tender dan Duty Manager hotel melati tiga. Tapi upaya itu belum menunjukkan hasil. Tak satupun tempat aku masukkan lamaran dapat memanggilku. Semua bilang tunggu dan tunggu, terus begitu. Walau perasaan kami sedih karena keluarga kami terpecah, tapi karena hanya itulah menurut kami hal yang terbaik kami ambil saat itu, maka kami terus ihlas dan tawakal menghadapi kenyataan itu. Sambil kami berharap, mudah-mudahan aku cepat mendapat pekerjaan dan istri serta dua anakku di lampung dapat kubawa lagi ke Jakarta.
Sebulan istriku di kampung, aku diajak kerja oleh salah satu paman dengan gaji yang cukup minim. Tapi aku bersyukur masih bisa menyambung hidup di kota Jakarta. Dua bulan kemudian, aku mendapat kabar dari istri di kampung, bahwa bulan Juli pertengahan dia akan melahirkan anak kami yang kedua. Setelah tiba waktu istriku melahirkan, perut istriku selalu mulas-mulas tapi anehnya bayi kami tidak mau lahir juga. Sampai akhirnya istriku minta aku pulang ke kampung biar supaya dia punya kekuatan untuk melahirkan. Sesampainya di kampung, Tugumulya Lampung Barat, isteriku benar-benar akan melahirkan. Kehadiranku ternyata cukup memberi semangat istriku untuk cepat-cepat mengeluarkan anak. Tapi sayang, hal itu terbatas di mulas-mulas dan askit perut saja, tapi jabang bayi tidak muncul juga. Hingga akhirnya, bidan yang menangani isteriku, lepas tangan, minta agar kami ke rumah sakit Kayuagung dan melakukan operasi sesar.
Mendengar vonis dari Bidan itu, kami tentu saja kebingungan uang. Dari mana kami mendapatkan uang untuk membayar operasi sesar di rumah sakit di kota yang begitu besar. Jangankan uang Rp 5 juta sebagai biaya standar operasi sesar, uang untuk ongkos sewa mobil ke rumah sakit itupun, aku tak punya. Seemntara mertuaku di Tugumulya, bukanlah orang berada, hidupnya juga pas-pasan dari hasil jualan pakaian secara kreditan dari kampung ke kampung. Karena panik dan sangat cemas, saya berusaha menekan Bu Bidan. Barangkali saja, bila ditekan, Bu Bidan akan membantu sekuat tenaganya dan istriku bisa melahirkan. "Bu bidan, kenapa istri saya harus dibawa ke rumah sakit, memang ibu tidak bisa membantu lagi? Ibu kan bidan ternama di daerah ini, masa ibu tidak bisa berusaha secara optimal agar istri saya dapat melahirkan?" tanyaku, agak ketus.
"Istri bapak air ketubannya sudah kering karena kelebihan dua minggu dari harinya. Dan hanya operasi sesarlah jalan satu-satunya yang dapat membantu!” kjelas Bu Bidan, lebih ketus lagi. "Apa yang menyebabkan istri saya, kok bisa begini. Waktu anak kami yang pertama tidak begini, dan kira-kira biaya operasi sesar di rumah sakit berapa?" tanyaku lagi. "Istri bapak menderita stress. Mungkin karena terlalu banyak masalah yang dipikirkannya. Ini berbeda dengan yang pertama, mungkin waktu hamil pertama istri bapak pikirannya tidak stress dan tenang, dan untuk biaya operasi sesar saya tidak tahu pasti. Tapi sekitar 4 juta rupiah atau 5 juta-an," jelas bidan itu.
Mendengar penjelasan dari bidan itu, otakku bertambah panik. Usaha apa lagi yang dapat aku tempuh dalam keadaan begini. Sedangkan istriku, masih menjerit kesakitan, merang di atas ranjang klinik sederhana itu. Sementara itu, Bu Bidan menjelaskan tambahan, bahwa bila kami terlambat ke rumah sakjit dan melakukan sesar, istriku akan celaka dan anakku akan meninggal di dalam kandungan. Saat itu, aku seakan dikejar waktu dan keadaan makin lama makin keras dan panas. “Kalau terlambat operasi, bisa-bisa anak Bapak meninggal di dalam perut dan istri Bapak bisa pula meninggal karena kontraksi!” kata-kata Bu Bidan terus terngiang di telingaku dan aku sangat ketakutan.
Saat itu aku menghambur ke kamar mandi dan wuduh di air keran. Aku langsung melakukan sembahyang yang aku tidak tahu itu sholat apa. Dalam sembahyang itu aku berkonsentrasi penuh kepada Allah minta bantuan-Nya, mukjizat atau keajaibannya dikirim untuk kami dalam keadaan kalut dan memprihatinkan itu. “Ya Allah, aku tidak mau melakukan perampokan, pencurian atau apapun yang tidak halal untuk kelahiran bayiku ini. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk biaya istriku ya Allah. yang kupunyai sekarang hanya Engkau dan untuk itulah aku meminta Engkau Yya Allah, utnuk menurunkan bantuanmu agar hari ini juga anakku lahir!” doaku, kala itu, begitu khusuk dan terasa begitu dekat kepada Allah. Habis aku bersujud, tiba-tiba sekujur tubuhku merinding dan aku merasa begitu tenang, seakan Allah tersenyum dan memberikan apa yang aku minta.
Habis sholat di kamar tengah yang kosong, aku kembali ke kamar istriku dan mencium keningnya. Suara tangis dan rasa sakitnya kala itu agak menurun walau wajahnya masih pucat dan bibirnya menjadi putih. Telapak tangan kanan istriku kupegang erat dan aku kembali khusuk minta kepada Allah, agar Tuhan menurunkan mukjizatnya dan istriku dapat lahir saat itu juga. Kekuatan doa dan kekuatan konsentrasiku pada Sang Khalik ini, alhamdulillah membuahkan hasil. Tiba-tiab datang seorang laki-laki berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung batik membawa segelas air aqua untuk istriku. “Minumkan air ini untuk istrimu, Nak!” kata bapak-bapak itu, yang umurnya kurang lebih 80 tahun.
Saat itu juga, air putih tersebut aku minumkan ke istriku. Tanpa banyak bertanya aku langsung menuruti perintah dari bapak-bapak yang tidak tahu datangnya dari mana itu. Berapa jam kemudian keajaiban terjadi, istriku merasakan perutnya sangat sakit dan mulas sekali. Aku dan sitriku memanggil bidan lewat head phone dan Bu Bidan segera datang. Istriku bilang, bahwa kepala bayi sudah keluar sebagian dan ia akan melahirkan. Tanpa banyak kata-kata, Bu Bidan dengan cekatan membantu persalinan istriku dan berapa menit kemudian anak kami lahir.
Kami bersyukur sekali atas karunia Allah. di mana anak kami lahir tanpa sesar dan keluar dengan selamat, sehat dan segar. Kelahiran anak kami yang tidak jadi dioperasi sesar itu tentu saja membuat bidan bingung. Ahli persalinan itu, tidak menyangka bahwa istriku bisa melahirkan tanpa operasi sesar. Karena menurut ilmu kedokteran, istriku harus dioperasi sesar baru bayi itu bisa lahir. Tapi peristiwa ini, ternyata hanya dengan bantuan air putih dan doa, yang bisa membantu mempercepat kelahiran yang seharusnya dilakukan dengan operasi sesar.
Saat istriku menjerit kesakitan karena air ketuban kering karena kelebihan dua minggu dari harinya, aku begitu cemas. Sementara bidan Sri Dwijaningsih sudah lepas tangan, tidak sanggup lagi menangani istriku yang sudah 20 hari di kliniknya. Kami dianjurkan rujukan ke rumah sakit besar l00 kilometer dari kampung kami untuk operasi sesar. Dalam teori medis, bila air ketuban kering, bayi akan meninggal. Sebab air ketuban itu dimakan oleh jabang bayi dan menjadi racun pembunuh utama. Bayanganku jauh soal biaya. Paling tidak, untuk melakukan operasi sesar, Rp 5 juta mesti keluar. Sedangkan di kantongku, hanya tersisa uang Rp 200 ribu pemberian Om Zul, adik bungsu ibuku yang tinggal di Jakarta lewat transfer BNI 46 cabang Tugumulya, Lampung Barat.
Di tengah kegelisahanku, tiba-tiba datang seorang laki-laki setengah baya memberikan segelas air putih untuk diminumkan kepada istriku. Entah darimana datangnya sosok pria berpeci hitam, berbaju koko putih dan memakai sarung batik coklat. Disodorkan air dengan niat baik itu, aku langsung meraih dan meminumkannya poada istriku. Arkian, lima menit setelah minum air putih itu, bayi kami langsung lahir dengan selamat. Tapi laki-laki yang membawa air putih itu tiba-tiba menghilang di balik jendela. Saya mengejar keluar untuk mengucapkan terima kasih. Tapi laki-laki itu ternyata raib, tidak meninggalkan bekas sama sekali. Ditanya pada orang-orang sekitar, tidak ada satupun orang yang tahu. Tidak seorangpun yang mengaku melihat ada laki-laki bersarung batik, berbaju koko dan berpeci hitam masuk ke klinik itu. Bu bidan pun, tidak mengetahui ada sosok yang dimaksud berada dalam kliniknya.
Sejak setahun yang lalu, tepatnya bulan Juli 2003, aku menganggur. Aku dipecat sebagai Duty Manager sebuah hotel melati tiga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Pemecatan tanpa alasan dan dicari-cari oleh management untuk menghindari pengangkatan satusku dari kontrak setelah 7 tahun aku kerja itu, benar-benar memukul batin kami. Selain merasa tidak bersalah, aku pun harus menghadapi suatu permasalahan ekonomi karena melamar ke sana ke mari, tidak mudah diterima. Sementara rumah kontrakan kami di Desa Suradita, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tanggerang, Banten, tinggal sedikit lagi masa kontraknya akan habis.
Kehidupan kami mulai mengalami cobaan dari Allah SWT, dan baru pertama kali itulah aku merasakan pukulan hidup yang begitu berat dan menekan. Tapi aku harus tabah dan menghadapi ujian itu dengan ihlas. Tapi istri dan anakku, tentu saja tidak bisa menunda makan, minum dan kebutuhan rumah tangga yang lain. Maka itu, barang-barang di rumah satu perastu dilepas untuk hidup. Mulanya VCD, lalu kulkas, radio dan handphone. Tinggal televisi yang tersisa, karena televisi itu buat hiburan di malam hari. Bila tidak ada televisi, tentu rumah akan menjadi neraka dunia, sunyi dan aku akan jadi buta informasi.
Sedangkan Verli putra kami yang berumur 3 tahun, tidak pernah mau makan nasi. Dia hanya mau minum susu indomilk kaleng dan satu kaleng hanya untuk satu hari. Sementara persedian uang belakangan sudah tidak ada lagi untuk membeli susu. Barang-barang pun tidak ada lagi yang bisa dijual untuk susu anak kami itu. Untungnya, kakak kandungku, Bang Is, yang tinggal tidak jauh dari rumah kami, turun membantu. Karena uluran tangannyalah, maka kami bisa membelikan susu untuk Verli setiap hari.
Berapa bulan kemudian Sukirtina istriku terlambat datang bulan. Setelah diperiksa di dokter kandungan di Medical Center Bahkati Asih, istriku ternyata positif hamil. Bila kebanyakansuami senang mendengar istri positif hamil, aku malah sebaliknya. Bayanganku jauh ke depan meyangkut biaya kehamilan dan biaya melahirkan, sementara aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang semua kebutuhan itu. Maka itu, kami pun akhirnya sepakat untuk menggugurkan kandungan itu. Tapi tiba-tiba kami membayangkan dosa dan kami sangat takut bila Tuhan marah atas usaha pengguguran itu. Bayi itu, menurut hemat kami, adalah titipan Allah dan Allah pasti sudah mengatur rejekih untuknya. Pengguguran itu, pikir kami, adalah suatu pembunuhan, sebab kehamilan istriku ternyata sudah empat bulan dan jabang bayi di perus istriku sudah berbentuk utuh walau masih kecil.
Sejak dari itu, kandungan istriku tidak terurus lagi. Makan, minum susu serta vitamin pun tidak pernah dapat terpenuhi. Tak ada uang kami untuk membeli kebutuhan itu. Airmata istriku sering menggenang dan aku tahu dia sangat sedih melihat kenyataan itu. Kadang-kadang dia sewot pula bicara, menyuruh aku banting tulang bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Aku mengerti desakan itu, dan sudah seharusnyalah aku bekerja keras bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Tapi aku bingung, mau kerja apa aku. Om ku mengajak aku jadi sopir perusahaannya, tapi aku tidak bisa menyetir. Om yang lain lagi mengajak bekerja sebagai kru sinetron, tapi aku tidak punya pengalaman di bidang produksi sinetron. Paling-paling, kata Omku. aku bekerja sebagai Pembantu Umum, tukang masak air dan menyediakan keperluan pemain dari dapur. Dan Omku tidak tega melihat aku bekerja di bidang itu, pekerjaan terendah di produksi sinetron kita. Makan sehari-hari pun dengan seadanya dan juga di bantu dari paman kami.
Karena merasa tidak enak dengan paman kami dan keluarga yang di Jakarta, akhirnya kami putuskan untuk berpisah sementara. Anak dan istriku dipulangkan dulu di kampung ke tempat orang tua kami di Lampung. Sedangkan aku berada di Jakarta untuk mencari kerja lagi, dari hotel ke hotel dan dari restoran ke restoran sesuai dengan bidang keahlianku sebagai Bar tender dan Duty Manager hotel melati tiga. Tapi upaya itu belum menunjukkan hasil. Tak satupun tempat aku masukkan lamaran dapat memanggilku. Semua bilang tunggu dan tunggu, terus begitu. Walau perasaan kami sedih karena keluarga kami terpecah, tapi karena hanya itulah menurut kami hal yang terbaik kami ambil saat itu, maka kami terus ihlas dan tawakal menghadapi kenyataan itu. Sambil kami berharap, mudah-mudahan aku cepat mendapat pekerjaan dan istri serta dua anakku di lampung dapat kubawa lagi ke Jakarta.
Sebulan istriku di kampung, aku diajak kerja oleh salah satu paman dengan gaji yang cukup minim. Tapi aku bersyukur masih bisa menyambung hidup di kota Jakarta. Dua bulan kemudian, aku mendapat kabar dari istri di kampung, bahwa bulan Juli pertengahan dia akan melahirkan anak kami yang kedua. Setelah tiba waktu istriku melahirkan, perut istriku selalu mulas-mulas tapi anehnya bayi kami tidak mau lahir juga. Sampai akhirnya istriku minta aku pulang ke kampung biar supaya dia punya kekuatan untuk melahirkan. Sesampainya di kampung, Tugumulya Lampung Barat, isteriku benar-benar akan melahirkan. Kehadiranku ternyata cukup memberi semangat istriku untuk cepat-cepat mengeluarkan anak. Tapi sayang, hal itu terbatas di mulas-mulas dan askit perut saja, tapi jabang bayi tidak muncul juga. Hingga akhirnya, bidan yang menangani isteriku, lepas tangan, minta agar kami ke rumah sakit Kayuagung dan melakukan operasi sesar.
Mendengar vonis dari Bidan itu, kami tentu saja kebingungan uang. Dari mana kami mendapatkan uang untuk membayar operasi sesar di rumah sakit di kota yang begitu besar. Jangankan uang Rp 5 juta sebagai biaya standar operasi sesar, uang untuk ongkos sewa mobil ke rumah sakit itupun, aku tak punya. Seemntara mertuaku di Tugumulya, bukanlah orang berada, hidupnya juga pas-pasan dari hasil jualan pakaian secara kreditan dari kampung ke kampung. Karena panik dan sangat cemas, saya berusaha menekan Bu Bidan. Barangkali saja, bila ditekan, Bu Bidan akan membantu sekuat tenaganya dan istriku bisa melahirkan. "Bu bidan, kenapa istri saya harus dibawa ke rumah sakit, memang ibu tidak bisa membantu lagi? Ibu kan bidan ternama di daerah ini, masa ibu tidak bisa berusaha secara optimal agar istri saya dapat melahirkan?" tanyaku, agak ketus.
"Istri bapak air ketubannya sudah kering karena kelebihan dua minggu dari harinya. Dan hanya operasi sesarlah jalan satu-satunya yang dapat membantu!” kjelas Bu Bidan, lebih ketus lagi. "Apa yang menyebabkan istri saya, kok bisa begini. Waktu anak kami yang pertama tidak begini, dan kira-kira biaya operasi sesar di rumah sakit berapa?" tanyaku lagi. "Istri bapak menderita stress. Mungkin karena terlalu banyak masalah yang dipikirkannya. Ini berbeda dengan yang pertama, mungkin waktu hamil pertama istri bapak pikirannya tidak stress dan tenang, dan untuk biaya operasi sesar saya tidak tahu pasti. Tapi sekitar 4 juta rupiah atau 5 juta-an," jelas bidan itu.
Mendengar penjelasan dari bidan itu, otakku bertambah panik. Usaha apa lagi yang dapat aku tempuh dalam keadaan begini. Sedangkan istriku, masih menjerit kesakitan, merang di atas ranjang klinik sederhana itu. Sementara itu, Bu Bidan menjelaskan tambahan, bahwa bila kami terlambat ke rumah sakjit dan melakukan sesar, istriku akan celaka dan anakku akan meninggal di dalam kandungan. Saat itu, aku seakan dikejar waktu dan keadaan makin lama makin keras dan panas. “Kalau terlambat operasi, bisa-bisa anak Bapak meninggal di dalam perut dan istri Bapak bisa pula meninggal karena kontraksi!” kata-kata Bu Bidan terus terngiang di telingaku dan aku sangat ketakutan.
Saat itu aku menghambur ke kamar mandi dan wuduh di air keran. Aku langsung melakukan sembahyang yang aku tidak tahu itu sholat apa. Dalam sembahyang itu aku berkonsentrasi penuh kepada Allah minta bantuan-Nya, mukjizat atau keajaibannya dikirim untuk kami dalam keadaan kalut dan memprihatinkan itu. “Ya Allah, aku tidak mau melakukan perampokan, pencurian atau apapun yang tidak halal untuk kelahiran bayiku ini. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk biaya istriku ya Allah. yang kupunyai sekarang hanya Engkau dan untuk itulah aku meminta Engkau Yya Allah, utnuk menurunkan bantuanmu agar hari ini juga anakku lahir!” doaku, kala itu, begitu khusuk dan terasa begitu dekat kepada Allah. Habis aku bersujud, tiba-tiba sekujur tubuhku merinding dan aku merasa begitu tenang, seakan Allah tersenyum dan memberikan apa yang aku minta.
Habis sholat di kamar tengah yang kosong, aku kembali ke kamar istriku dan mencium keningnya. Suara tangis dan rasa sakitnya kala itu agak menurun walau wajahnya masih pucat dan bibirnya menjadi putih. Telapak tangan kanan istriku kupegang erat dan aku kembali khusuk minta kepada Allah, agar Tuhan menurunkan mukjizatnya dan istriku dapat lahir saat itu juga. Kekuatan doa dan kekuatan konsentrasiku pada Sang Khalik ini, alhamdulillah membuahkan hasil. Tiba-tiab datang seorang laki-laki berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung batik membawa segelas air aqua untuk istriku. “Minumkan air ini untuk istrimu, Nak!” kata bapak-bapak itu, yang umurnya kurang lebih 80 tahun.
Saat itu juga, air putih tersebut aku minumkan ke istriku. Tanpa banyak bertanya aku langsung menuruti perintah dari bapak-bapak yang tidak tahu datangnya dari mana itu. Berapa jam kemudian keajaiban terjadi, istriku merasakan perutnya sangat sakit dan mulas sekali. Aku dan sitriku memanggil bidan lewat head phone dan Bu Bidan segera datang. Istriku bilang, bahwa kepala bayi sudah keluar sebagian dan ia akan melahirkan. Tanpa banyak kata-kata, Bu Bidan dengan cekatan membantu persalinan istriku dan berapa menit kemudian anak kami lahir.
Kami bersyukur sekali atas karunia Allah. di mana anak kami lahir tanpa sesar dan keluar dengan selamat, sehat dan segar. Kelahiran anak kami yang tidak jadi dioperasi sesar itu tentu saja membuat bidan bingung. Ahli persalinan itu, tidak menyangka bahwa istriku bisa melahirkan tanpa operasi sesar. Karena menurut ilmu kedokteran, istriku harus dioperasi sesar baru bayi itu bisa lahir. Tapi peristiwa ini, ternyata hanya dengan bantuan air putih dan doa, yang bisa membantu mempercepat kelahiran yang seharusnya dilakukan dengan operasi sesar.
Saat kami masih bertanya-tanya siapakah orang yang membantu kelahiran istriku dengan segelas air putih dan datangnya pun secara tiba-tiba itu, membuat aku bertanya-tanya hingga sekarang. Siapakah laki-laki yang berbaik hati itu? Benarkah dia manusia biasa atau mahluk dari bangsa jin yang diutus Allah untuk membantu kami? Kami tidak tahu dan tidak memcahkannya sekarang. Yang jelas dari bibir kami terucap, wallahuallam bissawab. Terima kasih ya Allah, terima kasih atas pertolongan dan mukjiza serta karunia mu yang begitu besar. Sekali lagi, terima Tuhan, terima kasih Ya Allah, ya Tuhanku. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki tua menghampiri kami dan ternyata ia adalah pak Usup, 70 tahun, mertua ku, yang juga baru saja melakukan sholat khsusus di rumah, meminta agar istriku melahirkan tanpa operasi dan cepat beranak tanpa diperpanjang lagi rasa sakit yang dideritanya yang selama ini begitu berat.
Menurut mertuaku, bahwa, usai sholat, dia sudah mendapat firasat bahwa ada orang gaib yang datang memberi bantuan. “Alhamdulillah semua sudah beres, Tuhan mendengar doa kita. Amin!” bisik mertuaku. Kini, kata mertuaku, tinggal aku yang harus berkonsentrasi penuh, untuk mendapat pekerjaan di Jakarta buat mengambil istri dan dua anakku dan menghidup mereka di Jakarta. Tapi aku yakin dan percaya betul bahwa Tuhan pasti mempunyai rencana lain untukku. Akhirnya, l0 hari setelah kelahiran anak bungsuku, aku pun kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang pas untukku. Semua itu, tujuannya adalah agar keluarga ku bisa berkumpul kembali seperti dulu, hiudp nyaman dan bahagia di kota metropolitan yang gemerlap.
Adapun nama-nama pelaku dalam kisah ini sengaja disamarkan untuk menghormati privacy yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar