Jumat, 26 April 2013

Makam Ki Ageng Gribig Kota Malang

Menjadi panutan bupati-bupati yang pernah berkuasa di Malang, makamnya menjadi jujugan orang yang sedang memburu jabatan.  Disini beberapa pusaka juga pernah berhasil diambil.

Menyebut nama Ki Ageng Gribig, bayangan banyak orang akan langsung tertuju ke Kecamatan Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Memang, di Desa Krajan yang masuk wilayah kecamatan ini, setiap tahun digelar “yaqowiyu”, sebuah ritual yang mentradisi berkat amanatnya. Di kecamatan yang sama, tepatnya di Dukuh Jatinom, Desa Jatinom, juga terdapat bangunan batu merah dan kayu yang dipercaya sebagai makamnya.


Namun bagi masyarakat Keca­matan Kedung Kandang, Kota Malang, Jawa Timur, makam Ki Ageng Gribig ada di daerah mereka. Tepat­nya di sebuah kampung yang namanya juga mengambil nama tokoh tersebut; Jalan Ki Ageng Gribig Gang II. Makam yang diyakini sebagai perisitirahatan terakhirnya, berada dalam satu komplek dengan makam beberapa bupati Malang tempo dulu.

Seperti makam di Jatinom, ma­kam Ki Ageng Gribig di Kedung Kan­dang ini juga sangat dikeramatkan. Pada malam-malam tertentu, teruta ma malam Jum’at Legi, selalu saja ada peziarah yang meramaikan makamnya. Berbagai macam berkah tentu mereka harapkan, mulai keselamatan, penglarisari, gampang rejeki, hingga kebahagiaan lahir batin.

Beberapa waktu lalu, banyak pula orang yang datang ke makam ini untuk berburu pusaka. Berbagai pusaka memang diyakini banyak tersimpan di makam yang lokasinya tidak jauh dari Perumnas Sawojajar, Kota Malang ini. “Pernah ada yang berbasil mengambil keris di sini, Mas,” ungkap Thoyibi (84), juru kunci makam.

Menurut laki-laki yang sudah menjadi juru kunci sejak 1951 tersebut, tidak diketahui pasti apakah sekarang masih terdapat pusaka-pusaka lainnya. Satu yang pasti, Makam Ki Ageng Gribig tetap dikunjungi pe­ziarah saat malam-malam utama dalam kepercayaan Jawa. Termasuk oleh mereka yang sedang memburu karir atau jabatan pemerintahan. “Beberapa bupati pernah sowan ke sini saat masa pencalonan mereka,” kata Thoyibi.

Kedatangan mereka bisa jadi karena adanya makam-makam bupa­ti Malang terdahulu di komplek ma­kam ini. Di sini para calon pejabat tersebut memang tidak hanya berziarah ke makam Ki Ageng Gribig, tapi juga ke pusara para bupati. Bupati-bupati Malang tempo dulu terse­but adalah RAA. Notodiningrat (bu­pati I dan II), serta RTA. Notodining­rat (bupati III).

Masing-masing makam bupati tersebut dilindungi oleh cungkup berbentuk bangunan yang sangat kokoh. Di dalam setiap cungkup terdapat pu­la puluhan makam kerabat para bu­pati tersebut. Dalam papan putih yang terdapat di dekat pintu masuk cungkup bupati pertama misalnya, tertulis “Makam RAA Notodiningrat Bupati Malang Ke I Serta 25 Makam Kerabat Terdekat”.

Makam Ki Ageng Gribig1Makam Ki Ageng Gribig juga di­lindungi bangunan cungkup meski ukurannya tak sebesar 3 makam bupati. Di dalamnya pun hanya terda­pat 2 makam, dirinya dan istri. Berbeda dengan makam para bupati dan makam-makam lainnya, makam suami istri ini tidak bernisan. Hanya berupa dua gundukan tanah, dengan timbunan bunga-bunga di atasnya dalam naungan kelambu warna putih.

Keturunan Brawijaya
Lalu siapa sebenarnya Ki Ageng Gribig yang dikuburkan di tempat ini? Menurut beberapa sumber, dia adalah cicit Raja Majapahit, Brawijaya. Ayahnya bernama Pangeran Kedawung, salah seorang keturunan Lembu Niroto. Konon Ki Ageng Gribig adalah sa­lah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga.

Sebagai ulama, Ki Ageng Gribig sangat terkenal dan dihormati di wilayah Malang sekitar 1650an. Ketika sudah meninggal dunia pun, makamnya begitu dihormati dan dikeramatkan, termasuk oleh penguasa waktu itu. Bupati Malang pertama bahkan merasa pemerintahannya yang berjalan bagus karena berkah Ki Ageng Gribig. “Karenanya dia berpesan, bila meninggal dunia dikuburkan dekat makam Ki Ageng Gribig,” jelas Thoyibi.

Riwayat Ki Ageng Gribig versi Malang tersebut agak berbeda de­ngan yang ada di Jatinom, Klaten. Meski sama-sama disebut sebagai keturunan Brawijaya, Ki Ageng Gribig versi Jatinom disebut sebagai putra Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara. Versi lain menyebut, Ki Ageng Gribig adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim yang silsilah ke bawahnya menurunkan Maulana Ishaq, Sunan Giri, Sunan Prapen, dan Maulana Sulaiman (Ki Ageng Gribig).

Tokoh yang juga sering disebut sebagai Syekh Wasihatno itu menjadi pendakwah Islam dengan pusat di Desa Krajan, Jatinom, Klaten. Dia ju­ga termasuk tokoh yang berpengaruh karena memiliki hubungan dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusu- ma, raja Mataram. Bahkan Raden Ayu Emas, adik Sultan Agung, dinikahinya, hingga dirinya mendapat kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin tanah perdikan Mutihan di Jatinom.

Konon, Ki Ageng Gribig mampu melakukan perjalanan dari Jatinom ke Mekkah dalam waktu sangat singkat. Saking singkatnya, disebut bagai melempar batu, sehingga dia dapat pulang pergi Jatinom Mekkah setiap hari.

Suatu Jum’at di Bulan Safar, saat kembali dari perjalannya ke tanah suci, dia membawa oleh-oleh kue. Karena jumlahnya tidak mencukupi untuk dibagikan kepada penduduk, ia bersama istri kemudian membuat lebih banyak kue sejenis. Setelah jadi, sambil menyebarkan kue-kue kepada penduduk yang berebutaan, Ki Ageng meneriakkan “Ya Qowiyyu” (Tuhan, berilah kekuatan).

Kue tiruan dari Mekkah itu kemu­dian dikenal dengan nama apem, berasal dari kata bahasa Arab ‘Affan’ yang befmakna ampunan. Tradisi menyebar kue apem yang dimulai oleh Ki Ageng Gribig sejak 1589 Masehi atau 1511 Saka itu kemudian diteruskan setelah dia meninggal du­nia, sesuai amanatnya. Yaitu tradisi ‘yaqowiyyu’, di Desa Krajan, Jatinom, Klaten.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar